Terinspirasi Perjuangan Frans Kaisiepo Dalam Perjuangan Masyarakat Papua Untuk Hidup Lebih Baik Dalam Pemekaran

Papua, kabarberita.co.id – Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, Papua, pada 10 Oktober 1921. Frans Kaisiepo merupakan salah satu pejuang kemerdekaan yang berasal dari Papua.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 di Kampung Harapan, Jayapura, Frank Kaisiepo menyanyikan Lagu Indonesia Raya bersama pejuang lain, Marcus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe dan teman-teman pejuang yang lainnya.

Pada tanggal 31 Agustus, mereka mengadakan upacara di mana mereka mengangkat bendera Indonesia di tanah Papua. Pada bulan Juli 1946, Kaisiepo adalah anggota Delegasi Konferensi Malino di Sulawesi Selatan, satu-satunya orang asli Papua yang menghadiri Konferensi tersebut.

Sebagai pembicara, ia menyarankan agar nama Papua yang dipopulerkan oleh Belanda diubah menjadi Irian, istilah dalam bahasa Biak yang berarti tanah yang panas atau sinar yang menghalau kabut.

Meski demikian, nama Irian yang dia pilih tidak populer diantara banyak orang Papua, karena bahasa Biak adalah bagian dari rumpun Austronesia dan bukan rumpun Bahasa Papua.

Pada tahun 1949 dia menolak menjadi delegasi Belanda dalam Konferensi Meja Bundar, karena dia tidak ingin didikte oleh pemerintah Belanda.

Akibatnya, Frans Kaisiepo ditangkap dari tahun 1954 sampai 1961. Setelah Konferensi Meja Bundar, pada tahun 1961, ia mendirikan Partai Irian yang berusaha untuk menyatukan kembali Belanda Nugini dengan Republik Indonesia.

Pada tahun 1964, setelah Perjanjian New York, Frans Kaisiepo diangkat menjadi menjadi Gubernur pertama Irian Barat. Ia langsung membantu pelaksanaan Pepera atau Penentuan pendapat Rakyat yang berlangsung pada tahun 1969.

Hasil Pepera yang diakui oleh PBB itu kemudian menyatukan Irian Barat ke Indonesia. Frans Kaisiepo meninggal di Jayapura, Papua, pada 10 April 1979.
Frans Kaisiepo dimakamkan di TMP Biak. Makamnya Berada Tepat di depan TMP Biak Numfor.

Untuk mengenang jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak. Selain itu namanya juga di abadikan di mata uang 10.000 rupiah dan juga di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo.

Jika kita melihat kebelakang
Jauh sebelumnya tete² , orang² tua kita/senior kita telah memperjuangkan PEMEKARAN itu sendiri
Tentunya perjuangan dari awal didukung oleh masyarakat di wilayah masing²
dibuktikan dengan adanya pemekaran Papua Barat.

Jadi pemerintah pusat saat ini mengambil keputusan sudah sesuai dengan pertimbangan historisnya, dan administrasi sebagai
Contoh di Papua selatan, pada tgl 15/10/2018 ada 7 marga besar dari wilayah Animha untuk bertemu dengan Bapak Jokowi dan membacakan permintaan pemekaran dan jawaban Jokowi pada saat itu mengiyakan dan menyetujui pemekaran tersebut.

Wilayah Seireri (wilayah pesisir dan kepulauan Papua Utara) disaat Oak Maryem menjabat Bupati sudah memperjuangkan pemekaran Provinsi.

Selanjutnya Pengunungan Tengah (Wilayah Lapago/dulu Pegunungan Jayawijaya) pun telah bulak balik Jakarta membawa aspirasi pemekaran Provinsi, sampai saat inipun para kepala Suku Besar berkumpul untuk memperjuangkan secepatnya Provinsi Pegunungan Tengah di resmikan.

Semua ini perjuangan adalah membutuhkan waktu panjang dan segala pikiran serta finansial yang seharusnya di syukuri ketika pemerintah pusat menyetujuinya. Sekarang 3 DOB terdiri dari Provinsi Papua selatan (wilayah adat Animha, Provinsi Pegunungan Tengah (wilayah adat Lapago dan Provinsi Papua Tengah (wilayah adat Meipago) sudah disetujui Pemerintah melalui mekanisme di Baleg Komisi 2 DPR RI, dan saat ini akan menyusul proses di Baleg Komisi 2 DPR RI untuk Provinsi Kepulauan Papua Utara (wilayah adat Seireri). Semoga perjuangan penduhulu-pendahulu dan perjuangan tete dan orangtua Papua membuahkan hasil untuk anak cucu masa depan menjadikan Papua secara keseluruhan bisa bersaing maju seperti daerah dibagian lain dari Republik Indonesia.

( Shanty Rd )

Related posts